Monday, March 16, 2020

Menentukan Waktu Sunrise dan Sunset

Setiap Perwira Pelayaran Niaga wajib memiliki kompetensi untuk bisa menentukan waktu terbit dan terbenamnya matahari sebagai salah satu benda cakrawala yang digunakan untuk bernavigasi secara Astronomis. Waktu terbit dan terbenam matahari tersebut selain penting untuk ditentukan sehingga bisa mengetahui waktu yang tepat untuk menilik benda angkasa dalam rangka penentuan Compass Error, juga sangat bermanfaat untuk menentukan waktu pelaksanaan Sholat 5 Waktu terutama Subuh, Maghrib, dan Isya.

Pada era keterbukaan teknologi informasi seperti ini, kita dapat melaksanakan proses pembelajaran secara online. Beberapa blog yang telah menulis hal tersebut antara lain sebagai berikut :
Rahmat Priyono Andara_1
Rahmat Priyono Andara_2
2nd Officer Edi
Saya di sini hanya akan menambahkan contoh perhitungan untuk Sunrise dan Sunset.

Adapun langkahnya adalah sebagai berikut :

  1. Buka Almanak Nautika sesuai tanggal yang diminta.
  2. Lihat pada halaman sisi kanan tepatnya di tabel Sunrise dan Sunset.
  3. Cari lintang kapal (Lat.) dan catat waktu yang tertulis di Almanak Nautika sebagai LMT/WMK. Jika lintang kapal tidak ada, maka lakukan interpolasi karena Almanak Nautika memang hanya mencatat Lat. pada interval tertentu saja. Cara melakukan interpolasi bisa dengan matematika sederhana.
  4. Koreksikan dengan bujur dalam waktu untuk mendapatkan UTC (cara mencari b.d.w bisa dengan kalkulator yaitu bujur dibagi 15 atau dengan Conversion of Arc to Time di Almanak Nautika). Jika bujur Timur maka jam dikurangkan, jika bujur Barat maka jam ditambahkan untuk mendapatkan UTC.
  5. Koreksikan UTC tersebut dengan Delta Zona yaitu selisih zona waktu antara UTC dengan posisi kapal. Bisa lihat pembagian zona waktu di bumi berdasarkan bujur dimana setiap 15 derajat berbeda 1 jam, atau dengan cara angka derajat bujur dikurangi 7,5 lalu dibagi 15 dan berapapun hasilnya dibulatkan ke atas. Tanda matematikanya berbalik dengan langkah 4.
  6. Hasilnya adalah waktu Sunrise atau Sunset.
Berikut ini contoh perhitungannya :
  1. Hitunglah waktu Sunrise untuk kapal di posisi 05-00'N / 110-15'E tanggal 16 Maret 2018
  2. Hitunglah waktu Sunset untuk kapal di posisi 07-26'S / 073-10'E tanggal 16 Maret 2018
Jawaban :
1. LMT / WMK : 06 - 12 - 00 (lihat dari Lat. 0 dan 10 N diinterpolasi)
    b.d.w.             : 07 - 21 - 00 (bujur dibagi 15/ Conv.of Arc to Time, E dikurangi atau W ditambah)
    UTC               : 22 - 51 - 00 
    Delta Zone     : 07 - 00 - 00 (lihat zona bujur atau bujur dikurangi 7,5 dibagi 15 hasil bulatkan atas)
    Zone Time     : 05 - 21 - 00 (E ditambah, W dikurangi)
2. LMT / WMK : 18 - 24 - 09 (lihat dari Lat. 0 dan 10 S diinterpolasi)

    b.d.w.             : 04 - 52 - 40 (bujur dibagi 15/ Conv.of Arc to Time, E dikurangi atau W ditambah)
    UTC               : 22 - 16 - 49 
    Delta Zone     : 05 - 00 - 00 (lihat zona bujur atau bujur dikurangi 7,5 dibagi 15 hasil bulatkan atas)
    Zone Time     : 17 - 16 - 49 (E ditambah, W dikurangi)
Untuk perhitungan ke waktu Sholat akan disampaikan pada materi selanjutnya.
Demikian semoga bermanfaat untuk kita semua.

Monday, July 24, 2017

Sang Fajar: PENINGKATAN PEMANFAATAN ILMU PELAYARAN ASTRONOMI SEBAGAI ALTERNATIF KONTROL TERHADAP RENCANA PELAYARAN DI MV. OCEAN PHOENIX

Sang Fajar: PENINGKATAN PEMANFAATAN ILMU PELAYARAN ASTRONOMI SEBAGAI ALTERNATIF KONTROL TERHADAP RENCANA PELAYARAN DI MV. OCEAN PHOENIX

PENINGKATAN PEMANFAATAN ILMU PELAYARAN ASTRONOMI SEBAGAI ALTERNATIF KONTROL TERHADAP RENCANA PELAYARAN DI MV. OCEAN PHOENIX

PENINGKATAN PEMANFAATAN ILMU PELAYARAN ASTRONOMI
SEBAGAI ALTERNATIF KONTROL TERHADAP RENCANA
PELAYARAN DI MV. OCEAN PHOENIX

Cahya Fajar Budi Hartanto, M.Mar., M.Si. 1), Agus Pamungkas, A.Md. 2)
1) Dosen Tetap Program Studi Nautika Akpelni, 2) Alumni Akpelni Angkatan XLVI
e-mail :  fajar@akpelni.ac.id

ABSTRACT
Nowadays, Celestial Navigation is being left by deck officer on board the ship and position fixing methode replaced by Electronical Navigation. On one side, fixing position can be easier and faster, but on other hand, deck officer become so addicted to the equipment and this matter become dangerous if sometimes there is a trouble or error which is undetected earlier. This situation will weaken the control system of fixed passage plan.
This research uses observation methode and the result is given by descriptive qualitative. Result of research and teoritical or practical study, found that there are some proposals that can be done to improve the usage of Celestial Navigation on board the ship, especially on an ocean going route vessel. Final results of this research, answer 3 research questions related to the usage of Celestial Navigation and recommend 3 alternatives to improve its usage as control alternative to the passage plan, in order to support safety of navigation.
Kata kunci: Celestial Navigation, Passage Plan, Training

ABSTRAK
Ilmu Pelayaran Astronomi saat ini sudah mulai ditinggalkan oleh perwira dek di atas kapal dan metode penentuan posisi digantikan dengan Ilmu Pelayaran Elektronika. Pada satu sisi memang penentuan posisi menjadi lebih mudah dan cepat, akan tetapi di sisi lain para perwira dek menjadi ketergantungan pada alat dan hal ini membahayakan jika suatu saat terjadi kerusakan atau adanya kesalahan yang tidak terdeteksi dini. Keadaan ini melemahkan sistem kontrol terhadap jalannya rencana pelayaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan hasilnya disajikan secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian dan kajian teoritis maupun praktis, mendapati ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk kembali meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi di atas kapal, khususnya yang melayari pelayaran samudera. Hasil akhir penelitian menjawab 3 pertanyaan penelitian terkait dengan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi dan merekomendasikan 3 alternatif untuk meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai alternatif kontrol terhadap rencana pelayaran demi mewujudkan keselamatan pelayaran.
Kata kunci: Ilmu Pelayaran Astronomi, Rencana Pelayaran, Pelatihan

A.      PENDAHULUAN
Saat ini kapal menjadi salah satu hal yang penting dalam menggerakkan perekonomian dunia karena kelebihannya sebagai sarana distribusi dibanding moda transportasi lain. Untuk menunjang kelancaran arus distribusi barang tersebut, maka keselamatan pelayaran menjadi hal pokok yang harus diutamakan. Keselamatan pelayaran dipengaruhi banyak faktor, baik dari dalam maupun dari luar kapal. Faktor eksternal mungkin sulit dikendalikan, namun faktor internal lebih mudah ditangani karena sepenuhnya ada pada kendali pihak kapal.
Salah satu faktor internal adalah kemampuan merencanakan pelayaran yang harus dimiliki oleh para perwira dek. Tentu tidak hanya berhenti pada merencanakan tentunya, tapi juga pada penerapan sistem kontrol yang baik sehingga tidak ada keraguan akan keselamatan pelayaran. Banyak unsur yang ada di dalam rencana pelayaran, salah satunya adalah metode penentuan posisi sebagai sarana kontrol terhadap pelaksanaan rencana pelayaran. Cara penentuan posisi selama ini dikenal dalam 3 istilah yaitu Ilmu Pelayaran Datar, Ilmu Pelayaran Astronomi, dan Ilmu Pelayaran Elektronika.
Sejak dikembangkan pada abad ke-19, Ilmu Pelayaran Elektronika terus dimanfaatkan oleh para navigator dan lambat laun mulai menggerus ilmu pelayaran yang lain, khususnya Ilmu Pelayaran Astronomi. Memang pada kenyataannya penentuan posisi dengan alat-alat elektronika seperti Global Positioning System (GPS), dapat dilakukan setiap saat dengan cepat. Namun ketergantungan pada alat ini harus mulai dicermati karena para perwira dek menjadi ketergantungan pada alat elektronika dan tidak memiliki alternatif lain dalam menentukan posisi, terutama apabila terjadi kegagalan atau kerusakan alat elektronika di kapal. Oleh karena itulah, penulisan ini disusun dengan tujuan untuk mengungkap fenomena yang terjadi pada para perwira dek dan peran perusahaan dalam pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi sehingga diharapkan memberi gambaran akan pentingnya penggunaan Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai alternatif kontrol terhadap jalannya rencana pelayaran.

B.       METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan non-statistika dan lebih menekankan pada proses penyimpulan serta analisis fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah atau cara berfikir formal dan argumentatif. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif, yaitu penyajian fakta secara sistematik (Azwar, 2010 : 5)
Studi pustaka dan dokumen dilakukan dari berbagai sumber seperti diktat pelayaran yang telah ada. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian diolah dan disajikan untuk memperkuat landasan teori dari penulisan ini.
Penelitian dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada para perwira di atas kapal MV. Ocean Phoenix, sebuah kapal niaga jenis curah, berbendera Singapore yang dimiliki oleh PT. Indofood dan dikelola oleh MSI Ship Management Pte. Ltd. Singapore. Observasi dilaksanakan selama 1 tahun sejak 9 Juli 2013 sampai dengan tanggal 11 Juli 2014.
Metode pengumpulan data selain dengan observasi dan studi pustaka, juga dilakukan dengan wawancara atau tanya jawab antara penulis-II dengan perwira dek di kapal sebagai sumber data primer dan juga kepada kru lain yang terkait dengan kegiatan perwira dek saat jaga di anjungan seperti para juru mudi jaga, sebagai sumber data sekunder. Dengan demikian penulis bisa mengetahui seberapa penting dan bergunanya Ilmu Pelayaran Astronomi bagi para perwira dek di kapal. Pertanyaan pada penelitian ini adalah :
1.    Sejauh apakah pentingnya peranan dan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai sarana penentuan posisi di kapal?
2.    Apa yang menyebabkan perwira dek lebih suka menggunakan bahkan terkesan menjadi ketergantungan pada peralatan navigasi elektronik dan enggan melakukan observasi benda angkasa?
3.    Bagaimana peran perusahaan dalam peningkatan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi di atas kapal?

C.      HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.    Peranan dan Pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi
Keselamatan dan keamanan pelayaran menurut Undang-Undang RI No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Salah satu hal yang dapat menunjang terpenuhinya keselamatan tersebut adalah sistem navigasi yang diterapkan di kapal. Navigasi menurut Shufeldt dalam Martopo (1997:1) adalah proses mengarahkan gerakan sebuah kapal atau pesawat dari satu titik ke titik lain dimana di dalamnya terkandung unsur seni dan ilmu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa navigasi astronomi adalah suatu sistem penentuan posisi kapal melalui observasi benda angkasa seperti matahari, bulan, bintang, dan planet dengan menggunakan instrumen berupa sextant, chronometer, compass, serta tabel-tabel dan Almanak Nautika.
Kompetensi perwira pelayaran niaga selalu mengacu pada standar yang ditetapkan pada Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) sebagaimana telah diamandemen tahun 2010. Jika dilihat pada tabel spesifikasi standar kompetensi minimum bagi perwira yang bertugas jaga di kapal 500 GT atau lebih, salah satu kompetensi di dalam fungsi navigasi pada level operasional adalah mampu merencanakan dan melaksanakan pelayaran dan menentukan posisi. Ada beberapa pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan yang dituntut, dimana salah satunya adalah kemampuan menggunakan benda-benda angkasa untuk menentukan posisi kapal (STCW Including 2010 Manila Amendments, 2011 : 99). Hal tersebut diperjelas dalam pokok bahasan pada IMO Model Course 7.03. Dapat dikatakan bahwa setiap perwira dek harus cakap bernavigasi dengan Ilmu Pelayaran Astronomi.
Sejarah mencatat pentingnya Ilmu Pelayaran Astronomi dalam menjamin keselamatan pelayaran. Beberapa di antaranya seperti hasil pelayaran Christopher Columbus dan Ferdinand Magellan yang berlayar sebelum proyek GPS dimulai tahun 1988 oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Dephan AS). Atau peristiwa di era abad 19 seperti pemberontakan awak kapal yang dipimpin Perwira 1 kepada Capt. Blight di kapal perang Inggris HMS. Bounty di Hawai yang kemudian tiba di Kupang dan tercatat sebagai pelayaran sekoci paling jauh (Kuntjoro, 2011 : 19).
Sementara di sisi lain, peralatan navigasi elektronika bergantung pada tegangan listrik generator, seperti dijelaskan Kifune (2000) berikut ini :
Generator voltage, stepped down by a transformer, is supplied to onboard loads such as nautical instruments and lights. Nautical instruments  contain numerous semiconductor devices which rely on DC for their operation”.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa peralatan navigasi elektronika tidak akan beroperasi dengan baik jika generator kapal mengalami gangguan, salah satunya dikenal dengan istilah ­black-out.
GPS saat ini menjadi andalan para perwira dek karena keakuratannya yang cukup tinggi dan dapat menentukan posisi kapal setiap saat. Namun, perlu diperhatikan bahwa ini dapat menjadi ancaman bagi dunia kemaritiman. GPS dikendalikan Dephan AS dan dikelola oleh Navstar, yang setiap saat dapat mengacaukan sistem GPS jika menganggap ada keadaan bahaya seperti terjadi peperangan. Di sinilah dapat terlihat peran penting Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai salah satu alat kontrol terhadap pelaksanaan rencana pelayaran.
Selain GPS, masih ada beberapa alat navigasi elektronika lain seperti Automatic Identification System (AIS) dan Automatic Radio Detection and Ranging Plotting Aids (ARPA). Penelitian terdahulu oleh Krol et.al. (2011) menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari alat elektronik bisa saja memberikan informasi yang tidak tepat terkait gerakan kapal karena adanya time delay. Penelitian lain oleh Januszewski (2009) menunjukkan bahwa penggunaan sarana navigasi elektronik tidak cukup hanya dengan satu sistem tetapi harus dikombinasikan dengan beberapa sistem. Itupun dipengaruhi oleh penempatan satelit dan stasiun daratnya. Dari kedua penelitian ini jelas bahwa pelayaran elektronika tidak selamanya bisa diandalkan, sehingga diperlukan alternatif untuk mengontrol rencana pelayaran.
Rencana pelayaran itu sendiri adalah proses menentukan jalur kapal yang paling aman dan efisien untuk diikuti atau dilalui kapal dan memastikan kapal menyelesaikan komitmen pelayaran (Bowditch, 1995 : 371). Menurut Resolusi IMO A.893 (21), dalam membuat sebuah rencana pelayaran, ada 4 tahapan penting yang harus dilakukan yaitu Appraisal, Planning, Executing, dan Monitoring. Ilmu Pelayaran Astronomi dapat menempati fungsi pelaksanaan dan juga pengawasan. Sebagaimana disebutkan dalam The International Chamber of Shipping (2007 : 32), tugas jaga navigasi dari perwira jaga didasarkan pada kebutuhan untuk melaksanakan rencana pelayaran dengan selamat dan memonitor perjalanan kapal yang disesuaikan dengan rencana tersebut.
Penulisan terdahulu oleh Chan Wee Nee Winnie et.al. (2007) berjudul Celestial Navigation, Heaven’s Guide for Mere Mortals mengungkap bahwa :
a. Ilmu Pelayaran Astronomi menjadi pedoman dan andalan para navigator di masa lalu sebelum dikembangkannya Ilmu Pelayaran Elektronika;
b.    Ilmu Pelayaran Astronomi dapat digunakan sebagai subjek untuk melakukan kalibrasi pada peralatan navigasi elektronika;
c.   Ilmu Pelayaran Astronomi meiliki peran yang sangat penting dalam keselamatan pelayaran.

2. Ketergantungan Perwira Dek pada Alat Elektronika dan Keengganan Melakukan Observasi Astronomis
 Rencana pelayaran yang terbaik sekalipun, tidak akan ada artinya tanpa sistem kontrol yang baik. Salah satu cara memonitor rencana pelayaran adalah dengan memastikan posisi kapal tetap berada di garis haluan yang telah direncanakan. Untuk itu, diperlukan kecakapan perwira dalam menentukan posisi dengan menggunakan beberapa metode yang tersedia.
Salah satu metode yang kini menjadi andalan hampir semua perwira dek di dunia termasuk di atas kapal MV. Ocean Phoenix, adalah dengan menggunakan peralatan navigasi elektronika karena sangat efektif dan efisien. Sebutlah contoh, penentuan posisi dengan GPS yang hanya memerlukan waktu dalam hitungan detik sehingga mengontrol pelayaran menjadi hal yang mudah.
Sementara di sisi lain, observasi benda angkasa dinilai terlalu rumit. Anggapan ini bahkan sudah dimiliki oleh para perwira sejak masih di bangku pendidikan sebagaimana dialami oleh para perwira di kapal MV. Ocean Phoenix. Hal ini mengakibatkan adanya rasa ketidak-mauan untuk melakukan observasi benda angkasa sebagai implementasi dari Ilmu Pelayaran Astronomi. Keadaan tersebut dapat dilihat dari jurnal observasi yang jarang sekali terisi catatan observasi. Keengganan para perwira ini juga didukung kurangnya kontrol dari Nakhoda yang tidak mewajibkan perwiranya untuk melakukan observasi benda angkasa.

3.    Peran Perusahaan dalam Peningkatan Pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan pada poin sebelumnya, ada satu hal yang perlu diperhatikan dalam rangka peningkatan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi di atas kapal, yaitu peran dan perhatian dari perusahaan berupa pelatihan tentang penerapan Ilmu Pelayaran Astronomi.
Pelatihan adalah salah satu aspek dalam manajemen sumber daya manusia yang dilakukan sebagai upaya pengembangan.  Nitisemito (1982) mengatakan bahwa latihan adalah suatu kegiatan dari perusahaan yang bermaksud untuk dapat memperbaiki dan memperkembangkan sikap, tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan karyawan, sesuai dengan keinginan perusahaan dan berfungsi meningkatkan kesadaran tentang pokok-pokok yang dibahas dalam latihan. Dengan demikian, perusahaan yang menginginkan awak kapal bekerja efektif dan efisien, sama sekali tidak boleh meremehkan pelatihan ini. Memang ada awak kapal yang mampu memotivasi diri sendiri tanpa campur tangan perusahaan, tapi dalam praktek jumlahnya tidak banyak. Beberapa sasaran yang dapat dicapai melalui program pelatihan bagi perwira dek adalah sebagai berikut :
1.    Pekerjaan diharapkan dapat lebih cepat dan lebih baik daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Dari segi industri, ini bisa menurunkan biaya unit. Dari segi jasa, ini akan menghasilkan layanan prima bagi pelanggan.
2.    Penggunaan peralatan diharapkan lebih tahan lama karena peralatan navigasi adalah investasi dengan modal besar yang harus dipelihara agar tidak sampai rusak.
3.    Angka kecelakaan diharapkan lebih kecil karena kerusakan atau kesalahan yang terjadi pada peralatan navigasi elektronika dapat diketahui dengan mensinkronkan hasil dari metode pelayaran astronomi.
4.    Tanggung jawab diharapkan lebih besar seiring meningkatnya kepercayaan diri dalam penerapan Ilmu Pelayaran Astronomi.
5.    Kelangsungan perusahaan pelayaran diharap lebih terjamin dengan investasi di bidang tenaga kerja, karena melalui pelatihan, perusahaan akan didukung orang-orang yang tepat di bidangnya.
Selain pelatihan yang dapat dilakukan dalam bentuk seminar atau workshop yang melibatkan praktek, masih ada beberapa hal lain yang dapat ditempuh. Hal tersebut antara lain perusahaan mengadakan internal audit, atau meminta Nakhoda sebagai perwakilan perusahaan untuk menjadi teladan bagi perwira lain dalam melakukan observasi benda angkasa, atau bekerjasama dengan lembaga pendidikan kepelautan.
Penelitian oleh Hanzu dan Pazara (2009) menunjukkan bahwa perusahaan pelayaran bertugas menyelenggarakan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi personil di kapal. Seiring dengan hasil tersebut, Varsami dan Popescu (2010) meneliti bahwa kecelakaan di atas kapal dapat dihindari jika seluruh awak kapal sudah mengikuti pelatihan yang tepat. Setiap langkah pelatihan tentu memiliki kelebihan dan kekurangan yang harus disikapi dengan bijaksana dan dengan satu landasan, yaitu terkontrolnya pelaksanaan rencana pelayaran sehingga menunjang keselamatan pelayaran. Jika digambarkan dalam bentuk kerangka alur pemikiran penelitian ini, maka akan tampak sebagai berikut :
 




























Gambar 1 : Diagram alur pemikiran penelitian


D.      KESIMPULAN DAN SARAN
1.    Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian dan untuk menjawab pertanyaan penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.  Peranan dan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai sarana penentuan posisi di kapal masih sangat penting. Ini terkait dengan adanya peraturan untuk tetap mempelajarinya dan adanya keterbatasan pada sarana navigasi elektronika.
b. Perwira dek lebih suka menggunakan bahkan terkesan menjadi ketergantungan pada peralatan navigasi elektronik dan enggan melakukan observasi benda angkasa karena lebih mudah dan cepat. Sementara di sisi lain, penilikan benda angkasa dirasakan rumit dan perlu waktu yang lebih lama.
c. Perusahaan memiliki peran besar dalam meningkatkan pemanfaatan Ilmu Pelayaran Astronomi di atas kapal. Tidak adanya perhatian dari perusahaan mengenai pelatihan dan penerapan Ilmu Pelayaran Astronomi di kapal, menyebabkan para perwira dek enggan menggunakannya.
d.   Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut :
a. Perusahaan mengadakan internal audit berkala khusus perihal peralatan dan kegiatan navigasi termasuk memeriksa penggunaan observasi benda angkasa untuk kepentingan navigasi di kapal.
b.   Nakhoda dan perwira senior menjadi teladan bagi perwira lain dalam melakukan observasi benda angkasa, baik untuk penentuan posisi maupun perhitungan deviasi pedoman. Nakhoda mewajibkan perwira untuk mengisi jurnal dan memeriksanya.
c.    Perusahaan dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan kepelautan untuk mengadakan pelatihan atau seminar khusus untuk memberikan kesadaran terhadap pentingnya Ilmu Pelayaran Astronomi, baik kepada perwira yang sudah berdinas maupun calon perwira yang akan naik kapal.

E.       DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Saifuddin. 2010. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Bowditch, Nathaniel. 1995. Practical Navigator. Newburyport: Marine Navigation Department.
Hartanto, Cahya Fajar Budi. 2014. Ilmu Perlayaran Astronomi. Semarang: Akpelni
Hanzu, Radu., dan Pazara. 2009. The Role of Shipping Companies in Increasing Onboard Personnel Competencies. Maritime Transport & Navigation Journal. Vol. 1 : halaman 111-116
Januszewski, J. 2009. Satellite and Terrestrial Radionavigation Systems on European Inland Waterways. International Journal on Maritime Navigation and Safety of Sea Transportation. Vol. 3 : halaman 121-126
Kifune, Hirayosu. 2000. Fundamentals of Maritime Electronic Apparatus. Japan: Japan Marine Engineers’ Association
Krol, A., et.al. 2011. Fusion of Data Received from AIS and FMCW and Pulse Radar – Results of Performance Tests Conducted Using Hydrographical Vessels Tukana and Zodiak. International Journal on Maritime Navigation and Safety of Sea Transportation. Volume 5: halaman 463-469
Kuntjoro, Dady Tjahjo. 2011. Pelayaran Astronomi. Jakarta: STIP
Nitisemito, Alex S. 1982. Manajemen Personalia (Manajemen Sumber Daya Manusia). Jakarta: Ghalia Indonesia
Martopo, Arso. 1997. Ilmu Pelayaran Astronomi. Semarang: BPLP
Pamungkas, Agus. 2014. Penggunaan Ilmu Pelayaran Astronomi sebagai Kontrol terhadap Rencana Pelayaran di Atas kapal MV. Ocean Phoenix. Karya Tulis Ilmiah. Tidak dipublikasikan. Semarang: Akpelni.
SIGTTO. 2011. Passage Planing Guide (Malacca and Singgapore Straits, 3rd Ed). Edinburg, Scotland, UK: Witherby Publishing Group.
Study Course No. 1.3.  2005. Bridge Resource Management. Jakarta: BP3IP.
Swift, AJ., dan TJ. Bailey. 2004. Bridge Team Management (Second Edition). London: The Nautical Institute.
The International Chamber of Shipping. 2007. Bridge Procedure Guide (Fourth Edition). London: Marisec Publications

Varsami, Anastasia., dan Corina Popescu. 2010. Safety Onboard Passenger Ships from the Crew Members’ Training Point of View. Maritime Transport & Navigation Journal. Vol. 2 : halaman 65-68